
Walhi Kalbar Tolak Revisi UU Minerba yang Beri Hak Pengelolaan Tambang kepada Perguruan Tinggi
Tekno Jogja – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) secara tegas menolak usulan revisi Undang-Undang Minerba (UU Minerba) Nomor 3 Tahun 2020 yang memberikan hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi. Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, mengungkapkan keprihatinannya terhadap revisi yang sedang dibahas oleh DPR. Ia menyatakan bahwa revisi tersebut berpotensi menyimpang dari peran utama perguruan tinggi yang seharusnya lebih fokus pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Adam menyebutkan bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang dapat mengaburkan fungsi utamanya. Perguruan tinggi, menurutnya, bukanlah lembaga yang seharusnya dijadikan sebagai entitas bisnis yang dapat diberi izin untuk mengelola sumber daya alam, termasuk tambang. Tugas utama perguruan tinggi adalah mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, serta mendidik generasi masa depan, bukan mengelola sektor bisnis atau tambang yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Menurut Adam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi memiliki mandat untuk menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang mencakup pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pengelolaan tambang tidak tercantum dalam mandat tersebut, dan pelibatan perguruan tinggi dalam hal ini justru berisiko menimbulkan ketidaksesuaian antara tujuan akademik dan bisnis yang dapat merusak integritas perguruan tinggi. Ia khawatir adanya konflik kepentingan yang dapat merusak independensi akademik yang selama ini menjadi landasan utama perguruan tinggi.
Adam juga menyampaikan bahwa aktivitas pertambangan sangat rawan menimbulkan konflik sosial dan lingkungan, terutama jika terjadi ketegangan antara pihak pengelola tambang dengan masyarakat sekitar. Hal ini berpotensi merusak reputasi perguruan tinggi yang selama ini dihormati karena kemampuannya untuk menjaga objektivitas dan integritas. Jika perguruan tinggi terlibat dalam bisnis tambang, bukan tidak mungkin akan muncul kegaduhan di dalam kampus yang berpotensi merusak reputasi dan hubungan antara perguruan tinggi dengan masyarakat.
Selain itu, pemberian hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi dianggap oleh Walhi sebagai langkah yang justru akan memperburuk hubungan antara institusi pendidikan dengan publik. Adam menekankan bahwa sudah cukup organisasi masyarakat (ormas) yang telah diberi izin untuk mengelola tambang, dan tidak perlu perguruan tinggi ikut terlibat dalam hal ini. Ia menegaskan agar perguruan tinggi tetap menjaga fokusnya sebagai pusat pendidikan dan penelitian, bukan sebagai pengelola sumber daya alam.
Sebagai langkah selanjutnya, Walhi mendesak agar DPR menghentikan rencana tersebut dan memastikan perguruan tinggi tetap fokus pada perannya yang lebih relevan dengan pembangunan sumber daya manusia. Perguruan tinggi, menurut Walhi, harus tetap menjadi mitra pemerintah dalam memberikan masukan kritis terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan hak-hak masyarakat, keselamatan lingkungan, serta prinsip keberlanjutan.
Dalam pandangan Walhi, pengelolaan tambang harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial, yang dapat diperjuangkan oleh perguruan tinggi melalui penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan menjaga peran dan independensi perguruan tinggi, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan bertanggung jawab.