Tekno Jogja – Universitas Columbia yang berbasis di New York telah memberikan sanksi tegas terhadap sejumlah mahasiswa yang berpartisipasi dalam aksi pro-Palestina, termasuk pendudukan Hamilton Hall yang terjadi pada musim semi lalu. Beberapa mahasiswa dikenai hukuman berupa penangguhan hingga pengusiran dari universitas sebagai bentuk konsekuensi atas keterlibatan mereka dalam demonstrasi tersebut.
Dalam pernyataan yang dirilis pada Kamis (13/3), pihak universitas menjelaskan bahwa Dewan Yudisial telah menjatuhkan berbagai jenis sanksi. Hukuman yang diberikan bervariasi, mulai dari penangguhan selama beberapa tahun hingga pencabutan gelar sementara dan pengusiran secara permanen. Meski demikian, jumlah pasti mahasiswa yang terdampak tidak diungkapkan kepada publik.
Demonstrasi tersebut terjadi pada April 2024 ketika sekelompok aktivis antiperang memasuki Hamilton Hall, salah satu gedung bersejarah di kampus pusat Universitas Columbia. Dalam aksi tersebut, gedung itu diganti namanya menjadi “Hind’s Hall” sebagai penghormatan terhadap Hind Rajab, seorang gadis Palestina berusia enam tahun yang tewas dalam serangan militer Israel.
Di antara mahasiswa yang dikeluarkan adalah Grant Miner, yang menjabat sebagai presiden Student Workers of Columbia (SWC), sebuah serikat yang mewakili para instruktur dan peneliti di universitas tersebut.
Keputusan universitas mendapat kecaman dari serikat mahasiswa. Menurut pernyataan resmi SWC, pengusiran Miner dilakukan tanpa adanya bukti konkret mengenai keterlibatannya dalam aksi solidaritas Palestina. Mereka menuduh bahwa keputusan ini berkaitan dengan hubungan keuangan Columbia dengan kebijakan Israel, yang mereka anggap sebagai tindakan genosida yang didukung oleh Amerika Serikat.
Selain itu, serikat mahasiswa juga mengkritik waktu pengusiran yang dinilai mencurigakan. Mereka menyatakan bahwa sanksi tersebut dijatuhkan kurang dari 24 jam sebelum perundingan antara pihak serikat dan universitas berlangsung.
Menanggapi kritik tersebut, pihak Universitas Columbia menyatakan bahwa tindakan disipliner yang diambil telah sesuai dengan aturan dan kebijakan yang berlaku di lingkungan akademik mereka. Mereka menegaskan bahwa komitmen terhadap penegakan peraturan kampus tetap menjadi prioritas utama.
Keputusan keras ini diambil di tengah meningkatnya tekanan terhadap Universitas Columbia dari pemerintahan Donald Trump. Pemerintah AS baru-baru ini mencabut pendanaan federal senilai 400 juta dolar (sekitar Rp6,5 triliun), dengan alasan bahwa universitas tersebut dianggap gagal menangani insiden antisemit yang terjadi di kampus.
Tindakan penertiban ini juga dilakukan tidak lama setelah Mahmoud Khalil, seorang aktivis pro-Palestina sekaligus alumni Columbia, ditangkap oleh petugas dari Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) AS. Penangkapan tersebut dilakukan sebagai bagian dari kebijakan eksekutif Trump yang bertujuan untuk menindak aktivitas yang dianggap pro-teroris, anti-Semit, dan anti-Amerika di berbagai kampus di Amerika Serikat.
Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa masih banyak mahasiswa di Columbia maupun di universitas lain yang terlibat dalam aktivitas yang mereka sebut sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Ia menyatakan bahwa pemerintahannya tidak akan mentoleransi aksi-aksi tersebut dan akan terus mengambil tindakan lebih lanjut.
Lebih lanjut, Trump juga menyebut bahwa penahanan Khalil hanyalah awal dari rangkaian tindakan hukum yang akan dilakukan terhadap aktivis pro-Palestina di berbagai institusi pendidikan. Menurutnya, langkah ini adalah bagian dari strategi lebih luas untuk menekan gerakan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional Amerika Serikat.
Langkah tegas yang diambil Universitas Columbia serta kebijakan pemerintah terhadap aktivisme pro-Palestina ini telah memicu perdebatan luas. Sementara beberapa pihak mendukung tindakan universitas dengan alasan menjaga ketertiban akademik, banyak lainnya menganggap bahwa keputusan ini melanggar hak kebebasan berpendapat dan berunjuk rasa yang seharusnya dijamin di lingkungan akademik.