Gugatan PT Timah ke MK: Pakar Hukum Soroti Potensi Overpenalization dalam Kasus Korupsi Timah
3 mins read

Gugatan PT Timah ke MK: Pakar Hukum Soroti Potensi Overpenalization dalam Kasus Korupsi Timah

Tekno Jogja – Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menyoroti adanya kemungkinan penerapan hukuman yang berlebihan terhadap terdakwa atau yang dikenal sebagai overpenalization dalam gugatan yang diajukan PT Timah Tbk. ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, jika gugatan tersebut dikabulkan, maka pidana yang dijatuhkan terhadap individu yang memperkaya diri sendiri akibat tindak pidana korupsi dapat digandakan dengan hukuman bagi pihak lain, baik perorangan maupun korporasi, yang juga memperoleh keuntungan dari kasus yang sama.

Chairul menjelaskan bahwa dalam kasus korupsi tata niaga timah yang terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah, jumlah kerugian negara yang dinyatakan mencapai Rp300 triliun bukan merupakan angka riil, melainkan merupakan potensi kerugian yang dihitung berdasarkan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Melihat praktik eksplorasi dan eksploitasi yang telah dilakukan di wilayah tambang tersebut, ia menilai bahwa pihak yang paling banyak menikmati hasil dari kegiatan tersebut adalah PT Timah. Oleh sebab itu, menurutnya, perusahaan ini seharusnya dikenakan sanksi. Namun, ia berpendapat bahwa sanksi tersebut lebih tepat diberikan berdasarkan Undang-Undang yang lebih spesifik, seperti Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) atau Undang-Undang Lingkungan Hidup, bukan melalui Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ia juga menambahkan bahwa kerugian yang dinyatakan dalam kasus ini bukan merupakan kerugian keuangan negara secara langsung, melainkan lebih kepada potensi kerugian akibat dampak lingkungan. Oleh karena itu, ia menyarankan agar penanganan kasus ini dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan peraturan yang lebih relevan.

Sebelumnya, PT Timah telah mengajukan gugatan ke MK pada 3 Maret 2025. Gugatan ini bertujuan untuk meminta perubahan terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam permohonannya, PT Timah melalui kuasa hukumnya berpendapat bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal tersebut sudah tidak lagi relevan dalam konteks perkara korupsi yang mereka hadapi.

Pasal yang saat ini berlaku mengatur bahwa pembayaran uang pengganti bagi pelaku tindak pidana korupsi harus sesuai dengan jumlah harta yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Namun, dalam gugatannya, PT Timah meminta agar pasal ini diubah sehingga pembayaran uang pengganti hanya sebesar kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara yang secara langsung timbul akibat korupsi yang terjadi.

Gugatan ini diajukan berkaitan dengan kasus timah ilegal yang melibatkan terdakwa Harvey Moeis bersama sembilan terdakwa lainnya. Perkara ini telah mencapai tingkat banding, dan dalam putusan banding tersebut, kerugian negara ditetapkan mencapai Rp300 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp271 triliun dinyatakan sebagai kerugian akibat kerusakan lingkungan, sementara sisanya berkaitan dengan penyewaan alat pengolahan timah yang tidak sesuai ketentuan.

PT Timah berpendapat bahwa penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mencerminkan prinsip keadilan. Mereka menilai bahwa akibat penerapan pasal tersebut, para terdakwa dalam kasus ini tidak diwajibkan untuk mengganti kerugian yang dialami negara akibat kerusakan lingkungan dari kegiatan tambang timah ilegal di wilayah IUP milik PT Timah, yang jumlahnya mencapai Rp271 triliun.

Melalui gugatan ini, PT Timah berharap agar penghitungan kerugian dalam kasus korupsi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek yang lebih luas, sehingga keadilan dalam penegakan hukum dapat lebih terjamin. Sementara itu, perdebatan mengenai penerapan hukum dalam kasus ini masih terus berlangsung, dengan berbagai pihak menyampaikan pandangan mereka mengenai langkah yang paling tepat untuk menegakkan keadilan dalam perkara tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *