Dugaan Korupsi PDNS di Komdigi: Negara Rugi Rp500 Miliar, Kejaksaan Lakukan Penyidikan
2 mins read

Dugaan Korupsi PDNS di Komdigi: Negara Rugi Rp500 Miliar, Kejaksaan Lakukan Penyidikan

Tekno Jogja – Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat saat ini tengah mengusut dugaan kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Akibat dari dugaan korupsi ini, negara mengalami kerugian yang ditaksir mencapai lebih dari Rp500 miliar.

Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bani Immanuel Ginting, menyampaikan bahwa kasus ini berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan PDNS yang berlangsung di Komdigi sejak tahun 2020 hingga 2024.

Kasus ini bermula ketika Komdigi mengalokasikan anggaran sebesar Rp958 miliar untuk pengadaan PDNS dalam periode tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan adanya dugaan pengondisian pemenang tender oleh oknum pejabat di Kominfo—yang kini menjadi Komdigi—bersama pihak swasta.

Pada tahun 2020, proyek pengadaan barang dan jasa PDNS dimenangkan oleh PT AL dengan nilai kontrak sebesar Rp60 miliar. Kemudian, di tahun berikutnya, perusahaan yang sama kembali memenangkan tender dengan nilai kontrak lebih dari Rp102 miliar.

Tidak berhenti di situ, pada tahun 2022, dugaan kecurangan kembali terjadi ketika persyaratan tertentu dalam lelang diduga dihilangkan. Hal ini membuat perusahaan tersebut kembali terpilih sebagai pelaksana proyek dengan nilai kontrak lebih dari Rp188 miliar.

Keadaan serupa terus berulang di tahun 2023 dan 2024, di mana perusahaan yang sama kembali memperoleh proyek komputasi awan. Pada tahun 2023, kontrak yang diperoleh mencapai Rp350,9 miliar, sementara di tahun 2024 nilainya meningkat menjadi Rp256,5 miliar.

Investigasi yang dilakukan mengungkap bahwa perusahaan tersebut ternyata bermitra dengan pihak yang tidak memenuhi syarat kepatuhan terhadap standar ISO 22301. Selain itu, tidak adanya pertimbangan kelaikan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam penawaran proyek ini menyebabkan sistem PDNS rentan terhadap serangan siber.

Hal ini terbukti pada Juni 2024, ketika serangan ransomware menyebabkan beberapa layanan menjadi tidak berfungsi dan data pribadi penduduk Indonesia terekspos. Padahal, proyek ini telah menghabiskan anggaran lebih dari Rp959 miliar, tetapi implementasinya dinilai tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.

Peraturan tersebut hanya mewajibkan pemerintah untuk membangun Pusat Data Nasional (PDN), bukan PDNS. Selain itu, sistem yang diterapkan dalam proyek ini juga tidak sepenuhnya terlindungi sesuai dengan standar keamanan dari BSSN.

Menanggapi temuan ini, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dengan Nomor Print-488/M.1.10/Fd.1/03/2025 pada 13 Maret 2025. Dalam surat tersebut, sejumlah jaksa penyidik diperintahkan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap perkara ini.

Dengan adanya dugaan korupsi yang telah merugikan negara dalam jumlah besar, pihak berwenang diharapkan dapat segera mengungkap siapa saja yang bertanggung jawab atas penyimpangan ini. Selain itu, langkah-langkah preventif juga perlu diterapkan agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara harus tetap dijaga. Masyarakat pun diharapkan lebih proaktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang merugikan kepentingan publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *